Cerpen Puisi Untuk Yaya
Puisi Untuk Yaya
Kadang aku
mengingat saat pertama kali aku mengenal Yaya, mendengar suaranya pertama kali
melalui telpon genggam temanku, sampai benar-benar mengetahui bahwasanya dia
adalah seorang perempuan keturunan Jawa-Lombok yang memandang dunia melalui
bilik kacamatanya. Aku ingat bagaimana pertemuanku dengannya telah membangun
rasa persahabatan diantara kami yang kemudian mengalami pasang-surut akibat
masalah-masalah yang tiada habisnya. Lagipula dia cantik, manis, baik hati,
ramah, cerdas… mungkin nggak cerdas-cerdas amat karena selalu salah memilih
cowok, akan tetapi bagi diriku sendiri, ia sempurna. Kecantikannya telah
merenggut hati banyak cowok dan ia juga telah gonta-ganti cowok sebanyak ia
mengganti baju, ia telah mempacari orang dari banyak kalangan dan jenis, dari
cowok buaya darat sampai cowok alim, dari pebisnis sampai penghafal Al-Qur’an,
ia direbutkan di kalangan cowok dan jika ia putus dengan cowoknya yang sekarang
maka antrian pasti berputar kembali. Ia dikelilingi banyak keuntungan, atau
bisa jadi, Yaya adalah wujud keberuntungan itu sendiri.
Saat pertama
kali bertemu dengannya hidupku hanya tentang hitam dan putih, benar dan salah,
iya dan tidak, atau semacamnya. Akan tetapi semenjak dekat dengannya aku
menyadari bahwa ia adalah pelangi dengan segala keindahannya, ia adalah Bumi
yang menjadi alasan matahari tercipta. Pertemuan dengannya membawa aku pada
ribuan warna-warna baru dan hidup yang abu-abu berganti warna segala rupa,
pertemuanku dengannya telah membawa pada kenyataan bahwasanya masih ada
keindahan-keindahan di sudut-sudut terburuk semesta. Sempat aku berpikir bahwa
dia bukan manusia, atau bisa jadi ia tidak berasal dari planet ini? Bagiku Yaya
terlalu indah jika hanya dikenal sebagai manusia dan aku juga kerapkali merasa
rendah bila dekat dengannya. Aneh? Mungkin terlalu melankolis, tetapi faktanya
memang begitu, sebab kerapkali aku merasa menjadi Rahwana untuk dirinya yang
Sinta. Kerapkali ia dikelilingi oleh cowok-cowok yang keren dan kaya, dengan
mobil berbagai macam rupa, motor keluaran terbaru serta pakaian-pakaian mahal
di mall, hal yang tidak akan mungkin aku miliki bahkan jika aku menabung uang
sampai mati. Tetapi Maha Suci Tuhan yang menciptakan Yaya sebagai manusia
dengan segala keindahannya, sebab sebagai orang yang memuji-memuja namun
hina-papa, ia tidak melempariku dengan pemberian yang aku beri. Ia menerima. Ia
tersenyum ketika menerimanya, menatap mataku melalui kacamata yang bundar,
kemudian mengucapkan “terima kasih” dengan suara yang teramat lembut dan mampu
meredam amarah seisi Bumi.
Aku terjebak
dalam pusaran tentang dirinya, sementara kedewasaan menuntut lelaki untuk
berjuang. Laki-laki dituntut untuk lepas dengan segala imajinasinya dan
benar-benar bertempur dengan dunianya, kendati memang harus menjalaninya dengan
pedih dan kesendirian. Maka perlahan ku kubur kekagumanku, puja-puja dan
doa-doa mulai aku kurangi intensitasnya, dan pemberian-pemberian aku rubah
kepada hal yang menunjang masa depanku. Maka aku membaca buku, menulis puisi,
juga berharap peruntungan dengan menulis cerita. Aku mengikuti sebagian lomba
walau banyak kalahnya, mencoba membaca puisi dengan lantang dan sendu, mengatur
diafragma. Aku banyak berubah semenjak kehadirannya, dan menyadari bahwa aku
adalah laki-laki membuatku paham bahwa aku hidup untuk hari ini.
Kala itu kelas
sedang sepi dan SMANHA, sekolahku, masih sibuk dengan festival terakhir yang
sebentar lagi akan digelar. Kadangkala akan kau lihat para OSIS akan
bolak-balik membawa banner, cat, dan perlengkapan lainnya. Dan kalau
sempat, pada sore harinya kalian akan melihat mereka joget-joget, buat komedi,
serta memanjati beberapa bagian strategis di sekolah untuk dipasangkan banner.
Aku pernah bertanya sekilas kepada Salsa terkait hal itu “Well, itu kan
strategi marketing kami agar banyak yang datang!” ucapnya sembari segera
berlari karena dipanggil ketua panitianya.
Ketika aku
sendirian di kelas aku mendengar suara langkah kaki di koridor sekolah sehingga
aku memutuskan menoleh dan melihat melalui jendela. Perlahan jendela
memunculkan seseorang perempuan dengan wajah manisnya yang bercahaya, membuat
jantung berdetak dan serasa dipenuhi kupu-kupu. Aku mengira ia akan ke kelas
sebelah namun Yaya berbelok di depan pintu dan mendatangiku. Cara berjalannya
yang anggun membuat aku segera melemparkan senyum namun segera kuhentikan
karena teringat niat untuk menghentikan perasaan ini.
“Ada apa?” aku
segera bertanya untuk menyelesaikan keinginannya.
“Nggak mau suruh
aku duduk dulu?” ia tersenyum.
“Oke, silahkan
duduk”
“Traktir aku
ya!”
“Ini bukan
kantin, dan kamu kan punya cowok!” jawabku sekenanya dan untuk sepersekian
detik ia nampak terkejut dan mungkin juga kecewa. Namun ia kembali menatap
mataku melalui kacamatanya. Tersenyum.
“Kamu nggak
apa-apa?”
“Maksud kamu?”
“Setelah aku
sering jalan sama cowok, sikap kamu berubah. Kamu sekarang juga terlihat ketus,
apa aku ganggu?”
“Aku lagi buat
puisi”
“Ah! Iya, itu
tujuanku kemari” Yaya kemudian mengambil sesuatu di dalam saku bajunya yang
ternyata adalah permen kacang. Ia meletakkannya diatas meja dan berkata “Aku
mau kamu baca puisi di acara sekolah kita nanti, teman-teman OSIS juga setuju,
jadi aku tunggu ya! Makasih Bar.” Ucapnya sembari berdiri dan berjalan keluar.
“Tunggu… ”
ucapku dan membuat dirinya tertahan di depan pintu. Ia menoleh kepadaku dan
sekali lagi melemparkan senyum indahnya.
“… Aku mungkin
nggak bisa” lirihku.
“Kenapa?”
“Aku tidak bisa
membuat puisi, tulisanku belakangan ini tidak berbobot”
“Itu bukan Akbar
yang aku tahu, Akbar yang aku kenal selalu penuh dengan imajinasi”
“Tapi memang
benar, aku juga nggak tahu kenapa”
“Kalau begitu,
kenapa kamu tidak tulis hal-hal yang kamu cintai atau sayangi, kurasa itu bisa
menginspirasi. Kalau nggak bisa, kamu boleh jadikan aku objek puisimu. Tulis
tentang aku, Bar! Soalnya aku nggak ada habisnya.” Ucapnya sembari tertawa dan
benar-benar meninggalkan aku di dalam kelas, sendirian, dengan jantung yang
masih berdetak cepat dan kupu-kupu yang masih memenuhi jiwa.
Dalam heningnya
kelas aku kemudian mencoba menulis hal-hal yang aku sayangi, tentang perjuangan
dan mimpi. Dan apa yang dikatakan Yaya ternyata benar, aku mesti menulis apa
yang aku sayangi sebab dalam perasaan itu aku tidak terbebani. Perlahan, aku
mencoba menulis puisi tentangnya, tentang perasaan yang akan segera aku bunuh.
***
Beberapa hari
telah berlalu dan acara sebentar lagi akan digelar. Kami sedang mengadakan bookparty
sore itu sembari melihat sebagian OSIS kesana kemari seperti seekor semut.
Mereka bekerja luar biasa, bahkan beberapa orang sesekali izin di kelas karena
sakit akibat kelebihan bekerja. Sebentar lagi kita akan melihat lomba-lomba,
puisi, nyanyian, tarian, drama, perkusi, dan sebentar lagi juga angkatan kami
akan berpisah satu dengan lainnya, lepas dan tak terikat, mengejar mimpi
masing-masing. Bagaimanapun juga memang tidak ada yang abadi, bahkan waktu yang
secara gratis umat manusia miliki hanya akan menjadi kenangan di kemudian hari.
“Ada beberapa
hal yang aku dapatkan di buku ini, dan bagiku, buku ini sangat inspirasional
dan bisa menjadi pelengkap buku yang minggu kemarin Sultan bahas, apa judul
buku kemarin Tan?” tanya Rio yang mempersentasikan buku yang ia baca minggu
ini.
“Man Search
For Meaning, karya Victor E. Frankl” sahut Sultan.
“Nah, yang itu!
Dalam buku The Top Five Regret of Dying karya Bronnie Ware ini, ia menceritakan
pengalamannya ketika ia masih menjadi perawat untuk orang-orang tua yang telah
di depan ajal mereka, setidaknya ada lima hal yang manusia sesali saat hidup,
yaitu adalah satu, mereka menyesal karena tidak hidup seperti yang mereka mau,
mereka nggak ada keberanian untuk mengejarnya, menunda-nunda, bahkan melupakan
mimpinya. Kedua, mereka menyesal karena bekerja terlalu keras, karena dengan
bekerja terlalu keras, waktu yang dihabiskan dengan orang yang disayang habis
dan hilang, padahal ia bekerja untuk orang yang ia sayang, Ketiga, ketika
manusia didepan ajal, penyesalan terbesar mereka adalah tidak mau ungkapin
perasaan mereka kepada orang yang mereka sayang… “
Hatiku langsung
tertusuk, pendengaranku menjadi sirna dan pandangan menjadi kosong. Entah
mengapa ucapan tadi begitu dalam, terbang pada imajinasiku sendiri bahwa aku
hidup dalam perasaan yang terpendam selama ini, takut untuk mengucapkan,
padahal aku pun tahu bahwa jiwaku dengan seluruh perasaannya membutuhkan
keberanian untuk dikeluarkan. Sore itu aku pulang dengan perasaan kosong,
bahkan terbaring sampai tidak bisa tidur sepanjang malam. Perasaanku campur
aduk, logikaku bertarung dengan hati. Dan aku kembali membuka catatan itu,
melihat puisi itu ternyata bukanlah tentangnya, tetapi tentang perasaanku.
***
Tarian dan
nyanyian, api dan lampu kerlap-kerlip, teriakan, sorakan, serta segala tentang
kebahagiaan menyatu malam itu. Berkali-kali kami memukau penonton dengan
penampilan-penampilan yang dilakukan anak-anak SMANHA, kadang tertawa lega,
kadang sedih, kadang romantis sehingga beberapa orang kulihat pegangan tangan
dalam kelap-kelip lampu. Main mata, jatuh cinta. Keramaian mengisi ruang sepi
di Bumi sampai perhatianku tersentak ketika tiba-tiba pembawa acaranya
berteriak “Siapa yang mau dengar puisiiiiii!” dan disambut penonton dengan
ramai “Akuuuuuuuu!”.
“Oke! Kali ini persembahan puisi dari salah
satu sahabat kita, Akbariiiii!”
Perasaanku
langsung jedag-jedug, namun kuputuskan untuk naik keatas panggung dan mengambil
sebuah kertas di saku celana yang telah lusuh karena kesal dan bingung untuk
membacanya atau tidak di malam ini. Semua lampu tertuju padaku dan membuat aku
silau sejenak. Aku mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali, diam, kemudian
menyapu pandanganku kepada setiap manusia disana.
“Sebelum kita
semua berpisah, puisi ini aku mau sampaikan kepada orang yang aku sayang… yang
selama aku bertemu dengannya, tidak pernah aku sampaikan”
Semua penonton
terdiam. Beberapa orang yang tadinya bicara juga diam. Maka aku mulai bersuara
dengan suara yang lembut.
Tuhan, jika
dengan menjadi hujan aku lebih dekat dengannya, maka jadikanlah aku hujan
Jika dengan
menjadi debu aku lebih dekat dengannya, maka jadikanlah aku debu
Jika dengan
menjadi tanah aku lebih dekat dengannya, maka menjadi tanah pun aku rela
Tuhan,
jadikanlah aku apapun yang engkau mau, asal terus bersamanya
Aku diam dan
semua penonton tidak berkedip menatapku.
Sebab ketika
ia bersama orang lain, aku merasa cemburu
Pecah! Sorakan,
suitan, serta kata cieee panjang berkali-kali terdengar dan membuat aku malu.
Wajahku memerah, namun aku tetap melanjutkan dan sesekali penonton diam dan
saling mengingatkan untuk diam.
Tuhan, dalam
remang-remang lampu kamar
Dalam
sunyinya sepertiga malam
Ingatkah?! Aku
pernah berdoa!
Ya Allah!
Berikanlah ia lelaki paling baik di muka Bumi!
Aku berteriak
dan teriakanku membuat setiap penonton menarik napas panjang.
Dan
jadikanlah aku lelaki itu
Sekali lagi
pecah! Bahkan beberapa penonton yang duduk sampai berdiri dan bersorak-sorak!
Aku menutup puisi dengan terima kasih kemudian turun dari panggung. Pembawa
acara memujiku dan berkali-kali mencoba untuk menenangkan penonton. Aku menarik
napas dan terkesiap kala melihat Yaya sedang menyandar pada sebuah tiang besi,
menyilangkan tangan dengan papan rundown acara di tangan kanannya,
menangis. Aku melihat matanya yang sembab dan bersalju namun ia tetap tersenyum
kepadaku. Dan entah mengapa seolah dunia milik kami berdua kala itu, tabir
gelap menutup semesta, menghilangkan jutaan cahaya. Hanya ada aku yang berdiri
dengan selembar puisi lusuh di tanganku dengan dirinya yang diam-diam menangis.
Dalam waktu yang serasa berhenti, dalam kilatan-kilatan cahaya lampu, aku tidak
pernah menyadari bahwa perasaanku bisa serapuh ini. Tetapi sekali lagi ku coba
mengacuhkan segalanya, juga tidak mau tahu alasan mengapa ia menangis, hanya
saja kaki tidak mau beranjak dan di panggung mulai terdengar band SMANHA
menyanyikan lagu Untill I Found You. Memerangkap aku dengannya, berdiri dan
diam, berharap jatuh cinta satu sama lain. Aku harus mengungkapkan perasaanku,
atau menyesal selamanya. Maka aku memaksa diri berjalan kedepannya sementara
band SMANHA bernyanyi halus.
Heaven, when
I held you again
How could, we
ever just be friend
I would,
rather die than let you go
Juliet to
your Romeo
How I heard
you say
“I would
never fall in love again until I found her”
I Said “I
would never fall unless it’s you I fall into
I was lost
within the darkness but then I found her
I found you
Melalui puisi
telah kulepaskan segala tentangnya dan bertekad mengejar semua impian-impianku,
akan tetapi aku bahkan tidak tahu mana yang sebaiknya kukejar antara dirinya
atau mimpi, sebab saat aku pertama kalinya bertemu dengannya, jiwaku telah
menetapkan bahwa ia adalah bagian dari mimpi itu. Aku mencintaimu dalam puisi,
sebab dalam puisi, kamu abadi. (*)
Posting Komentar
0 Komentar