Moral dalam Cerpen: Sebaiknya Ada atau Tidak?

Konten [Tampil]

 Moral dalam Cerpen: Sebaiknya Ada atau Tidak?

Kebanyakan kita percaya bahwa moral dalam cerita adalah suatu keharusan, namun nyatanya, tidak demikian. Pada faktanya cerita sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan moral. Persoalan baik dan buruk adalah hak individu, hak penulis, hak pembaca, dan terlebih kita sejujurnya masih kebingungan untuk memilih moral yang baik dan buruk.

Misalnya, begini. Apakah bermoral jikalau kita menagih janji atau hutang kepada orang yang telah berjanji kepada kita? Apakah bermoral jikalau kita tidak menepati janji tersebut?

Kita tentu akan mengatakan bahwa janji mestilah ditepati, dan janji tidak boleh diingkari. Pengingkaran terhadap janji adalah kejahatan, dan penepatan terhadap janji adalah sebuah keharusan.

Namun dalam cerita Timun Emas, ketika kita menanyakan siapa tokoh jahatnya, kita sama-sama sepakat pula bahwa tokoh jahatnya adalah si Buto Ijo. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah karena moral adalah suatu hal yang tentatif?

Persoalan Timun Emas ini membuat kalian bingung karena kalian lupa ceritanya, jadi aku akan menceritakannya ulang;

Di suatu zaman seorang ibu bersedih karena ia tidak kunjung diberikan keturunan. Ia sudah semakin tua dan tidak tahu lagi kapan malaikat maut datang menjemput dirinya. Maka ia berdoa agar diberikan keturunan.

Didengar oleh raksasa yang kebetulan melintas, si raksasa datang berkunjung ke kediaman sang ibu. Ia memberikan sang ibu butir timun yang bisa ditanam ibu di pekarangan rumahnya. Si raksasa berkata bahwa timun itu akan memberikan seorang anak. Namun tentu ada syaratnya, syaratnya adalah saat berumur 17 tahun, sang raksasa akan mengambil anak hasil dari timun emas itu. Maka perjanjian dibuat. Si Ibu setuju, dan raksasa juga setuju.

Singkatnya sang ibu menanam timun, dan beberapa hari kemudian timun-timun itu berbuah banyak sekali! Bahkan salah satunya cukup besar seukuran anak-anak! Ketika dibuka, betapa terkejut sang ibu sebab isinya adalah seorang bayi. Maka ia kemudian membesarkan anak itu dengan penuh kasih sayang.

17 tahun berlalu. Si bayi telah menjadi seorang gadis. Berjalanlah dengan aduhai si raksasa dan meminta perjanjian itu. Namun si Ibu menolak. Alih-alih menyepakati perjanjian itu, si Ibu membiarkan putrinya kabur membawa beberapa butir timun emas yang sakti.

Singkat cerita, Timun Mas mengalahkan raksasa dengan butir-butir timun ajaib itu. Raksasa mati, mereka berdua bahagia.

Aneh? Benar. Karena dari awal kita menyepakati bahwa janji harus ditepati dan tidak boleh diingkari. Lalu, jika berlandaskan pada moral itu, siapa yang sebenarnya menjadi tokoh jahat dalam cerita itu?

Kebingungan itu berdasar sebab moral memang tentatif, ia bisa saja baik di tempat ini, buruk di tempat yang lain. Kata ‘jancuk’ bisa saja berarti sangat kasar di Jawa Tengah, namun di bagian Jawa Timur, kata itu tidak jauh berbeda seperti kata ‘anjay’ yang merupakan bahasa gaul.

Pada nilai cerita, Budi Darma secara tidak langsung menjelaskan bahwa moral sebaiknya tidak ada. Isa Alamsyah mengatakan bahwa pembaca bukan bayi yang disuapi, Freire mengatakan bahwa manusia sejatinya menafsir.

Cerpen yang baik memberikan rasa kontemplasi kepada pembacanya, bisa membuat orang merenung dan mempertimbangkan ulang benar tidaknya hal yang diperbuat. Tetapi moral seringkali membuat pembaca merasa digurui, akibatnya, rasa nikmat itu menjadi berkurang. Hal ini bisa menjelaskan bahwa sebaiknya moral dalam cerita sebaiknya dihilangkan.

Lalu kapan moral dalam cerita diperlukan?

Moral setidaknya diperlukan ketika kita menjadi seorang penulis yang memang meniatnya menghibur, membuat esai naratif, maupun menulis cerita anak. Bagaimanapun juga, anak masih terlalu kecil untuk menangkap makna maupun moral dalam cerita. Kendati hal ini memang bisa didebat, namun sebaiknya buku cerita anak memiliki moral.

Mengapa hal tersebut bisa didebat? Karena bacaan saya terhadap buku anak-anak membuat saya memahami bahwa beberapa cerita anak malah memiliki moral yang… aneh.

Misalnya cerita The Arrival karya Shaun Tan yang tidak memiliki teks sama sekali, cerita I Want My Hat Back karya Klassen, The Tiger Who Came to Tea karya Kerr, Timun Mas, si Kancil, bahkan cerita klasik Peterpan memiliki cerita yang patut dipertanyakan moralnya. The Tiger Who Came to Tea sebagai contoh, menceritakan harimau yang berkunjung ke rumah sang gadis karena kelaparan. Secara moral, kita bisa katakan bahwa kebaikan semestinya tidak memandang bulu. Masalahnya, membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah juga bukanlah hal yang baik karena dunia sudah berubah. Jika moral berhubungan dengan norma yang dicatut dunia, membiarkan orang asing ke dalam rumah bisa saja adalah tindakan bunuh diri.

Kendati demikian, kita masih bisa berpegangan dengan argumentasi Sarumpaet bahwa sastra anak selayaknya dibimbing oleh orang dewasa agar tidak salah menafsir. Argumentasi ini cukup menjadi alasan mengapa moral baik tidaknya dalam cerita masih bisa difiltrasi oleh pembaca dewasa.

Selain itu, Kohlberg juga menjelaskan bahwa masa anak-anak adalah masa moral pra-konvensional; mereka masih terikat dengan aturan-aturan yang diciptakan lingkungannya. Karena itu, bilamana mereka menafsirkan cerita dengan salah, besar kemungkinan mereka akan dewasa menjadi orang yang salah juga.

Pembaca anak-anak dan pembaca dewasa adalah dua hal yang berbeda. Anak-anak wajar digurui, karena mereka memang sedang dalam tahap perkembangan baik kognisi dan moralnya, Bambang Trianysah menjelaskan bahwa pengguruannya itu bisa secara langsung atau tidak, jika secara langsung, bisa menggunakan mulut orang dewasa. Namun pembaca dewasa? Mereka sudah menelan garam dan empedu kehidupan. Mereka tidak butuh digurui sehingga moral dalam cerita sebaiknya dinihilkan; kehidupan dan kenyataan telah menggurui mereka jutaan kali.


Tulisan ini merupakan turunan dari Pertanyaan Yang Sering Muncul Saat Menulis Cerpen

Tertarik menulis cerpen? Kamu bisa klik link berikut: Cara Menulis Cerpen 


Referensi:

Darma, B. (2004). Pengantar Teori Sastra. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Faiz, F. (2024). Filsafat Moral: Dari Al-Ghazali, Pakubuwana IV, Lawrence Kolberg, hingga Hans Jonas (A. Baiquni & P. Haryadi (Eds.)). PT Mizan Pustaka.

Nurgiyantoro, B. (2018). Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak (N. Rosyidah (Ed.)). UGM Press.

Nurhayati, S. R. (2006). TELAAH KRITIS TERHADAP TEORI PERKEMBANGAN. Paradigma, 02, 93–104.

Sarumpaet, R. K. T. (2010). Pedoman Penelitian Sastra Anak: Edisi Revisi. Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional.

Triansyah, B. (2020). Panduan Penulisan Buku Cerita Anak. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

 

Posting Komentar

0 Komentar