Review Buku Max Havelaar karya Multatuli : Penjajahan, Korupsi, dan Tanam Paksa (Recomended)
Review Buku Max Havelaar karya Multatuli
Identitas Buku
Judul : Max Havelaar
Penulis : Eduard Douwes Dekker atau Multatuli
Penerbit : NARASI
ISBN : 979-168-088-4
Cetakan : 3 tahun 2015
Penerjemah: Andi Tenri W.
Harga Buku : 75.000-85.000Rp
Cover buku Max Havelaar (Bukunya bisa dibeli seharga 60k Disini) |
Sudah hampir 2 bulan saya meminjamnya dari perpustakaan dan belum saya kembalikan, nampaknya belum gurih jika kita belum membahas salah satu karya yang mesti dibaca masyarakat Indonesia; Max Havelaar karya Multatuli atau si Douwes Dekker.
Max Havelaar adalah buku pertama dalam sejarah Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Belanda, tanpa buku ini Indonesia mustahil merdeka sebab buku inilah yang kemudian menjadi cikal bakal perlawanan masyarakat terhadap kolonialisme.
Hebatnya buku ini sampai membuat Pramoedya Ananta Toer menyebut bahwasanya 'Jangan menyebut dirimu aktivis jika belum membaca Max Havelaar', yang artinya, buku ini memang sangat layak untuk dibaca. Khususnya untuk mereka yang menyebut diri mereka aktivis.
Namun apa yang menyebabkan Pramoedya, penulis sastra tersohor Indonesia mengatakan demikian? Hal ini sekiranya yang perlu saya bahas dalam sesi kali ini.
Mari kita mulai.
Max Havelaar adalah nama tokoh utama dalam buku ini. Multatuli menggambarkan Max Havelaar sebagai seorang Belanda yang terhormat namun berani, keberaniannya adalah dengan melakukan perlawanan terhadap bangsanya sendiri, Belanda, yang sedang menjajah Indonesia kala itu.
Max Havelaar adalah seorang bapak yang terhormat dan sebenarnya kaya, hanya saja kekayaannya dilakukan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda sehingga ia mesti hidup sederhana. Perlawanan yang ia lakukan adalah dengan diplomasi serta membicarakan kejahatan yang dilakukan Belanda terhadap masyarakatnya.
Hanya saja, Max Havelaar tidak hanya membahas itu. Max Havelaar membahas tentang bagaimana Pribumi yang menjabat sebagai tokoh-tokoh penting melakukan tindakan yang tidak jauh berbeda dengan bangsa Belanda; mereka juga melakukan penjajahan.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Caranya cukup sederhana. Bangsa Belanda dan bangsa Indonesia membuat skema bagi-bagi untung. Mereka melakukan korupsi dan melakukan penjajahan kepada masyarakat tanpa memberikan mereka hak untuk mendapatkan gaji maupun insentif, lalu apa yang terjadi?
Kemiskinan merajalela, masyarakat kelaparan, mereka bahkan menjadi kanibal dan memakan sesama mereka, bahkan ibu-ibu memakan bayi mereka....
Skema tersebut terus berulang, bahkan kasus kongkalikong semacam itu terus terjadi hingga saat ini. Tidak hanya pada ranah pemerintahan, melainkan juga pada ranah pendidikan, kampus itu sendiri.
Membaca Max Havelaar ini membuat saya tersadar bahwasanya korupsi dan penjajahan tidak pernah pergi, ia hanya berubah. Namun skemanya tetap sama, yaitu selalu ada yang diuntungkan dari sebuah kejadian yang diselubungi kata kata manis seperti kemajuan, kesejahteraan, keamanan, pembangunan, dan lainnya.
Hal yang paling menyedihkan adalah korupsi bahkan masuk kedalam ranah pendidikan, yang merupakan satu-satunya jalan untuk lepas dari belenggu mental korupsi. Sayangnya, pemainnya juga adalah mahasiswa.
Mahasiswa?! Orang yang paling mulia di negara kita?!
Benar kawan. Bahkan mahasiswa telah menjadi serigala untuk diri mereka sendiri. Mereka membuat skema korupsi dan menganggapnya sebagai sebuah prestasi. Jika ada beasiswa KIP misalnya, mereka akan meminta slot kepada pejabat kampus, kemudian akan memasukkan orang kedalam beasiswa itu, dan dari orang yang masuk kedalam beasiswa itulah mereka mendapatkan uang.
Membaca Max Havelaar membuat saya mengerti mengapa korupsi susah dibasmi; ia lebih tua dari tradisi, bahkan telah merasuk kedalam aliran darah dan diri pribadi.
Posting Komentar
0 Komentar