Resensi Buku The Miracle Of Water karya Masaru Emoto: Bagaimana Kata Bisa Mempengaruhi Jiwa?

Konten [Tampil]

 Review buku ini akan saya mulai dengan sebuah tulisan,

Agama dan manusia selalu menuntut kita untuk bersyukur, Tuhan menuntut kita untuk mencintai dan mengucapkan hal-hal baik kendati kita bukan orang yang baik. Tuhan malah murka bila kita berputus asa dari rahmat-Nya. Hal-hal itu membuat kita muak bukan? Kita tidak mau diatur dan mau bebas bicara apa dan berperilaku seperti apa. Kita mestinya bebas bicara apa, baik buruknya mesti urusan kita. Benar bukan? Tulisan ini bukan pembenaran untuk kamu, melainkan bukti bahwa kamu salah.

 

miracle of water masaru emoto
Cover terbaru Buku The Miracle Of Water karya Masaru Emoto

Disclaimer : The Miracle of Water merupakan buku pseudo-sains. Tulisannya tidak kredibel dan tidak dapat dipercaya. Pandangan Masaru Emoto dikritik dan diragukan. Sebagai buktinya anda bisa membaca tulisan Muhammad Mahfuz Huda di Quora atau Irish Times. Terima kasih telah mempercayai Buku Bagus😃.


The Miracle of Water: Mukjizat Air, Kata, dan Jiwa

Saya masih mengingat bagaimana saya menemukan buku harta karun mungil ini pada sebuah acara diskon buku di Gramedia dengan tajuk Semesta Buku. Awalnya buku ini terletak di bagian dalam dan tertumpuk buku-buku lainnya. Sigap saya mengambil dan pada akhirnya buku ini telah menjadi milik saya sepenuhnya.

Buku ini sempat menjadi fenomena atas penemuannya. Bahkan atas penemuannya para agamawan kerap mengaitkan isi buku ini dengan 'doa' sehingga menjadi salah satu alasan ilmiah mengapa manusia selalu dituntut untuk berdoa sebelum melakukan sesuatu. Sebab hal itu memang kadangkala terjadi klaim antar agama dan merasa bahwa apa yang dimaksud dalam buku ini merupakan pesan khusus yang hanya ada dalam agama mereka. Hasilnya terjadinya klaim ilmiah dan fanatisme seakarn menganggap bahwa agama mereka yang benar. Tetapi apakah Tuhan seberpihak itu? 

Penelitian Masaru Emoto selama 20 tahun ini jelas menjawabnya.

Gagasan utama dari buku ini sebenarnya sederhana; bagaimana kata mempengaruhi bentuk air? Kendati pertanyaan tersebut sepele namun kita tidak bisa melepaskan diri dari fakta bahwa manusia dan makhluk hidup yang lainnya tersusun dari air. Air mendapatkan persentase yang tinggi dalam tubuh manusia, sekitar 70 persen. Daratan yang kita huni juga tidak terlepas dari air yang mengelilingnya, bahkan porsi air jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daratan.

Hal tersebut nampak seperti keajaiban dan keanehan, terlebih ketika Masaru Emoto menemukan fakta yang lebih mengagumkan tentang air, yaitu air dapat menerima getaran. Hal yang sangat menakjubkan dari benda cair ini adalah bahwa air dapat menangkap emosi manusia yang dilancarkan melalui kata. Air dapat membedakan mana hal yang baik dan buruk, memendamnya, kemudian membentuk diri sesuai ucapan baik-buruk tersebut. 

Hal tersebut Masaru bedakan melalui serangkaian percobaan yang menimbulkan perbedaan mencolok dari kristal air yang diberikan kalimat maupun kata yang indah dibandingkan dengan kata yang buruk. Kata yang indah membentuk partikel yang indah, dan kata yang buruk membentuk partikel yang hancur.


Akan tetapi pertanyaan pasti tentu muncul, bagaimana mungkin bisa sama? Manusia memiliki ragam bahasa yang berbeda-beda, bahkan dialek yang berbeda-beda, artinya ucapan dari satu orang dari negara ini dengan negara lain sudah pasti berbeda. Namun nyatanya tidak. Masaru menemukan fakta bahwa ternyata bahasa itu sama. Kata cinta dalam bahasa Indonesia sama dengan love dalam bahasa Inggris, bahkan jika diucapkan dalam bahasa Jepang atau Afrika sekalipun. Masaru berpendapat bahwa air dapat menangkap makna kata yang terkandung dalam jiwa manusia, bahkan ia berpendapat bahwa semua bahasa di dunia ini berasal dari bahasa yang sama, dan Adam sebagai manusia pertama mendapatkan pembelajaran dari menangkap bahasa-bahasa alam yang kemudian menjadi ungkapan.

Hal tersebut membuat pribadi bertanya lebih jauh tentang makna dan bahasa, terlebih di zaman sekarang bahasa telah banyak berubah. Misal, kata anjing tentu sekarang menjadi makna yang buruk, bahkan kerap orang akan berkata 'dasar anjing!' kepada manusia lainnya. Tidak jarang juga kata buruk digunakan untuk memanggil yang lain selama ia dekat dengan kita. Tidak hanya itu, perubahan makna dan simplisitas jelas merubah kata anjing menjadi anjay, bahkan menjadi njir di ruang publik Indonesia. Hal tersebut membuat saya bertanya; apakah hal tersebut merupakan bahasa yang buruk? Atau malah sebaliknya? Apakah kata kotor yang diucapkan kepada kerabat dengan niat baik bahkan tanpa niat terhitung sebagai makna yang buruk?

Pertanyaan tersebut menurut saya penting. Saya pribadi juga bertanya apakah besar-kecil suara juga mempengaruhi? Sebab bagaimanapun juga getaran maupun bunyi dapat difaktori oleh intonasi suara yang umumnya terjadi akibat kondisi. Misal kata 'aku mencintaimu' yang diucapkan halus dan lembut bisa jadi terucap lembut sebab dua pasangan tersebut berada pada momen romantis. Hal tersebut jelas berbeda dengan kalimat "AKU MENCINTAIMU!" yang bisa saja dilakukan ketika mereka akan berpisah atau salah satu pasangan emosi berat.

Apakah hal tersebut sama? Atau air hanya menangkap gelombang dan getaran pada frekusensi tertentu saja, namun tidak bisa menangkap 'makna' sebenarnya? Bagi saya, itu menarik. Jelas bahwa buku ini satu frekuensi dengan buku The Secret karya Rhonde Bryne, Trance karya Joe Pitale, dan The Science of Getting Rich karya James Arthur Ray. Ketiga buku tersebut membahas tentang getaran dari alam semesta.


Self-Talk Yang Baik-Baik Saja.

Kembali kepada gagasan awal bahwa manusia sebagian besarnya adalah air. Setidaknya, 70 persen. Pernahkah kita merasa tidak berkembang, merasa hancur, down, menyalahkan takdir, bahkan merasa insecure? Jika jawabannya memang iya, aku mau bertanya; kamu bilang apa ke diri kamu sendiri?

Kemungkinan kamu kerapkali berkata bahwa diri kamu jelek, bodoh, tolol, bego, tidak pantas untuk siapapun, tidak layak hidup, lebih baik jadi lumut, bahkan lebih baik mati. Benar bukan? Jika memang benar apa yang aku bilang barusan... maka kamu harus berhenti. Kamu harus menggantinya dengan kata-kata yang indah dan baik kendati kata-kata tersebut terdengar munafik.

Kata jelek, bodoh, tolol, bego, tidak pantas untuk siapapun, tidak layak hidup, lebih baik jadi lumut, bahkan lebih baik mati adalah kata penghancur. Masaru berkata bahwa kata-kata tersebut membuat partikelir air menjadi rusak dan tidak berbentuk. Bentuk tersebut jauh berbeda bila dibandingkan dengan kata-kata indah dan syukur.

Kalimat penghancur jelas buruk, dan akan semakin buruk bila itu diucapkan oleh kita setiap hari. Saya tidak berbicara tentang ucapan dari mulut saja melainkan ucapan yang mendakam di dalam pikiran. Sebuah ucapan yang kita tanamkan setiap hari, sebuah doa tentang kita yang tidak layak untuk siapapun. Terkadang memang lucu, tiap hari menjejejalkan diri dengan kalimat 'Tuhan mengatur segalanya, bahwa Tuhan menciptakan makhluk dengan sebaik-baiknya' namun kita malah khawatir serta rendah diri sebab merasa tidak sempurna.

Saya memang bukan siapa-siapa, tetapi jika saya menjadi orang yang paling anda cintai, saya mungkin akan berkata "Bicaralah yang baik-baik saja. Sama seperti Tuhan, aku pun mencintai kamu".


Akhir..

Tulisan di buku Masaru Emoto dengan judul The Miracle of Water memang Pseudo-Sains, sebuah istilah yang mengacu kepada hal-hal yang terdengar sains, tetapi bukan sains. 

Yuk bersama-sama kita berikan fakta dan merekomendasikan buku yang bagus untuk orang lain. Bersama kita membangun pembaca yang berkualitas.

Untuk membaca yang lain, anda bisa kembali ke review buku.


masaru emoto, the miracle of water, mukjizat air, doktor emoto, miracle of water masaru emoto, prof masaru emoto, the power of water masaru emoto, buku the miracle of water,

Posting Komentar

0 Komentar